STUDI BUDAYA & SOSIAL WARGA TLEKUNG
Oleh : Alfarabi Shidqi Ahmadi
Sembari
ditemani dinginnya kota Batu, khas dataran tinggi kami se-kelompok
berjalan-jalan melihat-lihat kondisi desa Tlekung. Kami berjalan di atas
jalanan yang mulus, di samping kanan-kiri berdiri rumah-rumah warga yang
megah-megah dengan konsep minimalis yang khas perumahan perkotaan. Ya, warga
desa Tlekung mulai bermetamorfosis menjadi warga kota, sebab kota Batu sendiri
telah menjadi kota Wisata yang banyak dikunjungi wisatawan domestik bahkan
mancanegara. Datangnya wisatawan-wisatawan itulah yang menjadikan harga jual
desa, utamanya lahan menjadi mahal. Singkatnya warga disini banyak yang menjadi
“Orang Kaya Baru” (OKB).
Perjalanan
kami berhenti di rumah ketua RW 06 dusun Krajan Lor, desa Tlekung Batu. Singkat
cerita kami disambut cukup hangat di rumah beliau, khas penyambutan warga desa
kepada tamunya. Perbincangan dimulai dengan memperkenalkan diri kami beserta
maksud dan tujuan kami dating ke desa Tlekung ini. Beliau banyak memberi arahan
dan pengantar mengenai apa yang ada di desa ini. Sekitar 2 jam lamanya kami
berbincang bersama beliau membahas apa saja yang ada di desa ini. Mulai dari
sisi positif hingga negatif warga desa Tlekung.
Ada
beberapa problem yang terjadi di desa Tlekung ini, utamanya menyangkut budaya
dan sosial warganya. Diantaranya yang paling mencuat ke permukaan adalah
pudarnya budaya ‘pedesaan’ warga desa Tlkeung, yaitu budaya yang erat kaitannya
dengan gotong-royong, kerja bakti, saling peduli, kepekaan terhadap apa yang
terjadi di sekitarnya dan kumpul-kumpul bersama tetangga.
Ada fakta
unik yang sedikit melatar belakangi lunturnya kultur budaya sosial khas
pedesaan warga Tlekung ini. Fakta ini kami dapat dari ketua RW 06 desa Tlekung,
yang kemudian kami interpretasikan lebih lanjut.
Suatu
ketika di desa Tlekung ini ada program pembangunan ‘wisata desa’. Program ini
dikomandoi langsung oleh pemerintah kota (Pemkot) Batu. Untuk pengerjaannya
melibatkan warga-warga desa Tlekung. Diumumkanlah kepada masyarakat Tlekung
bahwa akan ada kerja bakti pembangunan ‘wisata desa’. Para warga
berbondong-bondong dating membantu pengerjaan wisata itu. Pihak pemkot menjadi
pengawas pada kegiatan itu. Ternyata kegiatan tersebut tidak Cuma-Cuma, ada imbalan
jasanya yang dialokasikan dari Anggaran pemerintah kota secara langsung.
Intinya, tiap-tiap orang mendapat imbalan berupa uang yang sama rata.
Dari satu
sisi, adanya imbalan jasa tersebut memang cukup positif bagi masyarakat desa
itu sendiri. Namun, di sisi yang lain malah menjadi penyebab pudarnya
jiwa solidaritas dan gotong royong dari warga desa. Akhirnya setelah adanya
proyek itu, warga desa sedikit susah atau alot bila diajak untuk kerja
bakti (yang Cuma-Cuma). “nah di sana aku kerja bakti dapat uang, masak aku
disuruh kerja bakti sekarang gratisan?” tutur pak ketua RW menggambarkan
persepsi warganya saat diajak kerja bakti yang Cuma-Cuma tadi.
Fakta lain
dari memudarnya budaya khas pedesaan adalah, di saat ada warga baru (pendatang)
yang hendak mendirikan bangunan (rumah) di desa Tlekung seakan sudah tak kenal
permisi. “lah dulu itu loh mas, kalau ada warga baru yang mau mendirikan rumah
pasti seminggu sebelumnya udah keliling ke rumah warga sebelah kanan-kirinya
untuk sekedar bilang kalau dia mau buat rumah di sini. Tapi sekarang
pembangunan udah dimulai loh malah kita yang mencari tahu siapa seh yang
mbangun (mendirikan bangunan) ini.” begitu penuturan ketua RW yang pada
problem ini kami jadikan narasumber.
Refleksi
dari problem-problem tersebut adalah, pemerataan pembangunan kota yang mulai
merembet ke pedesaan tak selamanya membawa dampak positif, tapi juga membawa
dampak negatif baik secara langsung ataupun tidak. Selain itu, dewasa ini
budaya dan nilai-nilai masyarakat perkotaan mulai ditransfer ke pedesaan,
bahkan kebanyakan warga desanya sendiri yang menerapkan budaya perkotaan di
kampong halamannya (pedesaan).
Sebagai
penutup tulisan ini, kami paparkan solusi yang mudah-mudahan dapat
meminimalisir nilai-nilai sosial dan budaya khas pedesaan dengan kemajuan dan
pemerataan pembangunan yang semakin cepat ini.
Pertama,
pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya masyarakat pedesaan
disaat hendak melakukan pembangunan dan peningkatan infrastruktur ataupun
sumber daya manusia (SDM) di pedesaan. Kedua, perlu adanya pengenalan diri bagi
warga pedesaan bahwa kultur sosial dan budaya mereka itu bukan termasuk
tertinggal atau kudet, karena kebanyakan warga pedesaan mulai merasa minder
dengan kultur budaya dan sosial yang melekat pada diri mereka sendiri
disebabkan silau dengan budaya dan sosial masyarakat perkotaan. Singkatnya
perlu diminimalisir lagi budaya latah atau ingin meniru dan ikut-ikutan. Yang
terakhir pemerintah kota Batu memang sedang gencar-gencarnya merealisasikan
visi yang cukup serius, yaitu menjadikan Batu sebagai kota wisata serta
menjadikan warganya sebagai pelaku bukan lagi sekedar penonton dari wisatawan
yang berdatangan. Bagi kami, alangkah baiknya jika pembangunan-pembangunan
lokasi wisata itu juga dibarengi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia serta
penguatan nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di masing-masing desa. Jadi
Batu nantinya diharapkan akan menjadi kota yang indah fisiknya dan indah nilai
sosial warganya.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar