Rabu, 23 Januari 2019


STUDI BUDAYA & SOSIAL WARGA TLEKUNG
Oleh : Alfarabi Shidqi Ahmadi

Sembari ditemani dinginnya kota Batu, khas dataran tinggi kami se-kelompok berjalan-jalan melihat-lihat kondisi desa Tlekung. Kami berjalan di atas jalanan yang mulus, di samping kanan-kiri berdiri rumah-rumah warga yang megah-megah dengan konsep minimalis yang khas perumahan perkotaan. Ya, warga desa Tlekung mulai bermetamorfosis menjadi warga kota, sebab kota Batu sendiri telah menjadi kota Wisata yang banyak dikunjungi wisatawan domestik bahkan mancanegara. Datangnya wisatawan-wisatawan itulah yang menjadikan harga jual desa, utamanya lahan menjadi mahal. Singkatnya warga disini banyak yang menjadi “Orang Kaya Baru” (OKB).

Perjalanan kami berhenti di rumah ketua RW 06 dusun Krajan Lor, desa Tlekung Batu. Singkat cerita kami disambut cukup hangat di rumah beliau, khas penyambutan warga desa kepada tamunya. Perbincangan dimulai dengan memperkenalkan diri kami beserta maksud dan tujuan kami dating ke desa Tlekung ini. Beliau banyak memberi arahan dan pengantar mengenai apa yang ada di desa ini. Sekitar 2 jam lamanya kami berbincang bersama beliau membahas apa saja yang ada di desa ini. Mulai dari sisi positif hingga negatif warga desa Tlekung.

Ada beberapa problem yang terjadi di desa Tlekung ini, utamanya menyangkut budaya dan sosial warganya. Diantaranya yang paling mencuat ke permukaan adalah pudarnya budaya ‘pedesaan’ warga desa Tlkeung, yaitu budaya yang erat kaitannya dengan gotong-royong, kerja bakti, saling peduli, kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan kumpul-kumpul bersama tetangga.

Ada fakta unik yang sedikit melatar belakangi lunturnya kultur budaya sosial khas pedesaan warga Tlekung ini. Fakta ini kami dapat dari ketua RW 06 desa Tlekung, yang kemudian kami interpretasikan lebih lanjut.

Suatu ketika di desa Tlekung ini ada program pembangunan ‘wisata desa’. Program ini dikomandoi langsung oleh pemerintah kota (Pemkot) Batu. Untuk pengerjaannya melibatkan warga-warga desa Tlekung. Diumumkanlah kepada masyarakat Tlekung bahwa akan ada kerja bakti pembangunan ‘wisata desa’. Para warga berbondong-bondong dating membantu pengerjaan wisata itu. Pihak pemkot menjadi pengawas pada kegiatan itu. Ternyata kegiatan tersebut tidak Cuma-Cuma, ada imbalan jasanya yang dialokasikan dari Anggaran pemerintah kota secara langsung. Intinya, tiap-tiap orang mendapat imbalan berupa uang yang sama rata.

Dari satu sisi, adanya imbalan jasa tersebut memang cukup positif bagi masyarakat desa itu sendiri. Namun, di sisi yang lain malah menjadi penyebab pudarnya jiwa solidaritas dan gotong royong dari warga desa. Akhirnya setelah adanya proyek itu, warga desa sedikit susah atau alot bila diajak untuk kerja bakti (yang Cuma-Cuma). “nah di sana aku kerja bakti dapat uang, masak aku disuruh kerja bakti sekarang gratisan?” tutur pak ketua RW menggambarkan persepsi warganya saat diajak kerja bakti yang Cuma-Cuma tadi.

Fakta lain dari memudarnya budaya khas pedesaan adalah, di saat ada warga baru (pendatang) yang hendak mendirikan bangunan (rumah) di desa Tlekung seakan sudah tak kenal permisi. “lah dulu itu loh mas, kalau ada warga baru yang mau mendirikan rumah pasti seminggu sebelumnya udah keliling ke rumah warga sebelah kanan-kirinya untuk sekedar bilang kalau dia mau buat rumah di sini. Tapi sekarang pembangunan udah dimulai loh malah kita yang mencari tahu siapa seh yang mbangun (mendirikan bangunan) ini.” begitu penuturan ketua RW yang pada problem ini kami jadikan narasumber.

Refleksi dari problem-problem tersebut adalah, pemerataan pembangunan kota yang mulai merembet ke pedesaan tak selamanya membawa dampak positif, tapi juga membawa dampak negatif baik secara langsung ataupun tidak. Selain itu, dewasa ini budaya dan nilai-nilai masyarakat perkotaan mulai ditransfer ke pedesaan, bahkan kebanyakan warga desanya sendiri yang menerapkan budaya perkotaan di kampong halamannya (pedesaan).

Sebagai penutup tulisan ini, kami paparkan solusi yang mudah-mudahan dapat meminimalisir nilai-nilai sosial dan budaya khas pedesaan dengan kemajuan dan pemerataan pembangunan yang semakin cepat ini.

Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya masyarakat pedesaan disaat hendak melakukan pembangunan dan peningkatan infrastruktur ataupun sumber daya manusia (SDM) di pedesaan. Kedua, perlu adanya pengenalan diri bagi warga pedesaan bahwa kultur sosial dan budaya mereka itu bukan termasuk tertinggal atau kudet, karena kebanyakan warga pedesaan mulai merasa minder dengan kultur budaya dan sosial yang melekat pada diri mereka sendiri disebabkan silau dengan budaya dan sosial masyarakat perkotaan. Singkatnya perlu diminimalisir lagi budaya latah atau ingin meniru dan ikut-ikutan. Yang terakhir pemerintah kota Batu memang sedang gencar-gencarnya merealisasikan visi yang cukup serius, yaitu menjadikan Batu sebagai kota wisata serta menjadikan warganya sebagai pelaku bukan lagi sekedar penonton dari wisatawan yang berdatangan. Bagi kami, alangkah baiknya jika pembangunan-pembangunan lokasi wisata itu juga dibarengi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia serta penguatan nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di masing-masing desa. Jadi Batu nantinya diharapkan akan menjadi kota yang indah fisiknya dan indah nilai sosial warganya.

Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Desa Tlekung, Batu

DESA TLEKUNG,  BATU Legenda Desa Dari informasi para sesepuh desa bahwa pada tahun 1814 dari situlah awal mula terbukanya sebuah ...

Desa Tlekung, Batu