Rabu, 05 Februari 2020


SEJARAH DESA TLEKUNG
     Pada awalnya, Desa Tlekung merupakan hutan yang terdiri dari banyak bukit. Hutan ini digunakan sebagai tempat latihan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hutan ini dahulunya, juga pernah digunakan oleh Kerajaan Singasari untuk melatih kekuatan dan ketangkasan para prajuritnya.
       Pada tahun 1814, Putri Larmini (nenek moyang Desa Tlekung) menemukan keberadaan hutan ini. Kemudian, hutan dibabat oleh Putri Larmini agar dapat digunakan sebagai jalan. Jalan yang dibuat berawal dari Gading Kulon sampai dengan Desa Seruk, dengan arah yang berkelok-kelok atau dalam bahasa Jawa disebut dengan mlekang-mlekung (memiliki banyak tikungan). Banyaknya tikungan pada jalan inilah yang menjadi asal-muasal nama Desa Tlekung. Atas jasa yang dilakukan Putri Larmini, masyarakat mengabadikannya dengan menyematkan nama Putri Larmini pada salah satu jalan yang berada di Dusun Gangsiran.
VISI DAN MISI
Visi :
        Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa tlekung melalui pembangunan di segala bidang yang menitik beratkan pada sektor pengembangan wisata dalam arti luas
Misi :
1.      Memanfaatkan potensi desa terutama SDM sehingga dapat menumbuh kembangkan kesadaran dan kemandirian dalam pembangunan desa yang berkelanjutan
2.       Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengobatan gratis serta lebih mengefektifkan pelayanan di polindes
3.  Meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat dengan menggalakkan usaha ekonomi kerakyatan melalui program strategis di bidang produksi pertanian, pemasaran, koperasi, usaha kecil dan menengah .
4.     Meningkatkan hasil pertanian dengan peningkatan akses sumber daya alam dan sumber daya manusia
Struktur Organisasi Pemerintah
Desa Tlekung
Kecamatan Junrejo
Profil desa Tlekung tahun 2019

Keterangan  :

—————————  : GARIS KOORDINASI
一一一一一一一一一  : GARIS KOMANDO


Data perangkat Desa Tlekung :
Tabel.1
Data Aparat Pemerintah Desa 


Rabu, 23 Januari 2019


KEHIDUPAN DAN RITUAL KEAGAMAAN DI DESA TLEKUNG

 






Kehidupan keagamaan pada masing-masing wilayah terkadang memiliki keunikan- keunikan tersendiri. Artinya ritual keagamaan ataupun kehidupan keagamaan masyarakat satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda, tergantung bagaimana masyarakat tersebut memahami ajaran islam yang mereka dapatkan. Nah salah satu desa yang kental dalam kehidupan keagamaan dan ritual keagamaannya adalah di Desa Tlekung.

Mayoritas penduduk Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, pemeluk agama Islam tercatat kurang lebih 3.872 orang memeluk agama Islam dari 4.144 penduduk di Desa Tlekung dan memiliki enam masjid dan empat belas musholah. Rata-rata penduduk Desa Tlekung menganut paham Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah. Oleh karena itu nuansa keagamaan Islam masih terasa kental dalam kehidupan masyarakat Tlekung. Beragam kegiatan keagamaan Islam rutin digelar di Desa Tlekung.

Warga rutin menggelar pengajian setiap seminggu sekali, pengajian rutin setiap dua minggu sekali dan tahlilan Ibu-ibu dan Bapak-bapak setiap hari Kamis Legi, kemudian Jam’iyah sholawatan Riyadhul Jannah. Namun karena di Desa Tlekung terdiri dari empat Dusun yakni Dusun Krajan lor, Dusun gangsiran Ledok, Dusun Gangsiran Putuk, Dusun Krajan Kidul waktu dan tempat pengajian rutin tiap Dusun pun berbeda salah satunya di Dusun Krajan Lor.

Selain kegiatan keagamaan untuk orang dewasa, Desa Tlekung juga menggiatkan pendidikan agama Islam untuk anak-anak usia dini. Anak-anak sudah ditanamkan sejak dini oleh orang tua nya untuk mengikuti pengajian di TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) yang sudah difasilitasi oleh aparatur Desa Tlekung setiap hari senin sampai jumat dengan jumlah murid laki-laki 37 anak, perempuan 53 anak dan tenaga pengajar 7 guru. Selain diajari membaca al-Qur’an anak-anak juga diajari praktek bacaan solat lima waktu, wiridan dan doa-doa sesudah solat, anak-anak juga dikenalkan dengan shalawat agar tumbuh dalam hati mereka kecintaan terhadap nabi Muhammad.

Ada yang menarik dalam pengajaran al-Qur’an untuk anak-anak TPQ di Desa Tlekung yaitu dengan menggunakan metode Yanbua yang diajarkan oleh KH Arwani Amin, Kudus yang dimana metode yanbua adalah metode baca tulis dan menghafal al-Qur’an dan untuk membaca nya anak tidak boleh mengeja tetapi membaca langsung dengan cepat, tepat, lancar dan tidak putus-putus disesuaikan dengan kaidah makharijul huruf. Seperti itulah kehidupan dan ritual keagamaan di Desa Tlekung yang masih sangat kental diajarkan dan di praktekan oleh masyarakat Desa Tlekung. (Atsna Farihatul Ulya, Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim)
  
Kehidupan keagamaan pada masing-masing wilayah terkadang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Artinya ritual keagamaan ataupun kehidupan keagamaan masyarakat satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda, tergantung bagaimana masyarakat tersebut memahami ajaran islam yang mereka dapatkan. Nah salah satu desa yang kental dalam kehidupan keagamaan dan ritual keagamaannya adalah di Desa Tlekung.

Mayoritas penduduk Desa Tlekung, Kecamatan Junrejo, Kota Batu, pemeluk agama Islam tercatat kurang lebih 3.872 orang memeluk agama Islam dari 4.144 penduduk di Desa Tlekung dan memiliki enam masjid dan empat belas musholah. Rata-rata penduduk Desa Tlekung menganut paham Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah. Oleh karena itu nuansa keagamaan Islam masih terasa kental dalam kehidupan masyarakat Tlekung. Beragam kegiatan keagamaan Islam rutin digelar di Desa Tlekung.

Warga rutin menggelar pengajian setiap seminggu sekali, pengajian rutin setiap dua minggu sekali dan tahlilan Ibu-ibu dan Bapak-bapak setiap hari Kamis Legi, kemudian Jam’iyah sholawatan Riyadhul Jannah. Namun karena di Desa Tlekung terdiri dari empat Dusun yakni Dusun Krajan lor, Dusun gangsiran Ledok, Dusun Gangsiran Putuk, Dusun Krajan Kidul waktu dan tempat pengajian rutin tiap Dusun pun berbeda salah satunya di Dusun Krajan Lor.

Selain kegiatan keagamaan untuk orang dewasa, Desa Tlekung juga menggiatkan pendidikan agama Islam untuk anak-anak usia dini. Anak-anak sudah ditanamkan sejak dini oleh orang tua nya untuk mengikuti pengajian di TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) yang sudah difasilitasi oleh aparatur Desa Tlekung setiap hari senin sampai jumat dengan jumlah murid laki-laki 37 anak, perempuan 53 anak dan tenaga pengajar 7 guru. Selain diajari membaca al-Qur’an anak-anak juga diajari praktek bacaan solat lima waktu, wiridan dan doa-doa sesudah solat, anak-anak juga dikenalkan dengan shalawat agar tumbuh dalam hati mereka kecintaan terhadap nabi Muhammad.

Ada yang menarik dalam pengajaran al-Qur’an untuk anak-anak TPQ di Desa Tlekung yaitu dengan menggunakan metode Yanbua yang diajarkan oleh KH Arwani Amin, Kudus yang dimana metode yanbua adalah metode baca tulis dan menghafal al-Qur’an dan untuk membaca nya anak tidak boleh mengeja tetapi membaca langsung dengan cepat, tepat, lancar dan tidak putus-putus disesuaikan dengan kaidah makharijul huruf. Seperti itulah kehidupan dan ritual keagamaan di Desa Tlekung yang masih sangat kental diajarkan dan di praktekan oleh masyarakat Desa Tlekung. (Atsna Farihatul Ulya, Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim)



BUDAYA RELIGIUS WARGA DESA TLEKUNG BATU

“Allahu akbar Allahu akbar”

Suara adzan saling bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid yang lain juga dari mushollah satu ke mushollah yang lain. Cukup unik, sebuah pedesaan yang mulai menjadi destinasi wisata kota Batu namun budaya keislaman (religious) tetap terjaga dengan baik. Maksud saya dibandingkan dengan desa-desa wisata yang lain. Cukup mudah bagi kita untuk menemukan mushollah dan masjid di desa Tlekung ini. Bahkan di satu dusun saja bisa berdiri empat sampai lima mushollah dan satu masjid.
Selain itu, di desa Tlekung ini juga sudah banyak agenda-agenda rutin keagamaan seperti pengajian, tahlilan, pembacaan sholawat diba’ hingga menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti TPQ dan Madrasah Diniyah. Hal ini menandakan bahwa warga desa Tlekung memiliki jiwa spiritual serta budaya religius yang sangat kental.
Bahkan pernah satu kali kesempatan, yaitu saat pelaksanaan sholat Jum’at, khotib dan imam nya adalah Ulama kondang di Malang Raya, bahkan sampai pelaksaan sholat Jum’at itu disiarkan langsung oleh Batu TV.

Istighosah Siswa SD
Siswa siswi SDN Tlekung 02 yang duduk di kelas enam akan menghadapi ujian Nasional dan serangkaian ujian kelulusan lainnya. Pihak sekolah bekerjasama dengan para wali murid yaitu bagian dari warga Tlekung mengadakan doa bersama. Doa bersama biasanya dilakukan hanya sekali dua kali menjelang ujian dan dilaksankana di lingkungan sekolah sendiri, namun di SDN 02 Tlekung ini sedikit berbeda, Istighosah dilakukan di rumah para wali murid secara bergantian dari rumah ke rumah seminggu sekali. Bahkan biaya untuk konsumsi ditanggung oleh wali murid. Hal ini menunjukkan bahwa warga desa Tlekung memiliki kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai keagamaan dalam menopang segala urusan kehidupan, khususnya untuk menopang urusan ujian kelulusan putra-putrinya.

Pengajian Rutin
Di masjid Al-Ikhlas, tepatnya yang berada di dusun Krajan Lor ada agenda pengajian atau majlis ta’lim yang dilaksanakan secara rutin. Di hari selasa pengajian diisi oleh gus DR. Yahya, salah satu dosen UNISMA. Pengajian itu dilaksanakan dua minggu sekali. Kemudian di hari jum’at pengajian diisi oleh Habib Nabil dari Batu. Untuk pengajian bersama habib Nabil itu dilaksanakan seminggu sekali. Semuanya dilaksanakan setelah sholat maghrib.
Antusias warga untuk kegiatan pengajian rutin tersebut cukup baik. Bahkan sampai terkadang ada jamaah dari luar desa Tlekung yang ikut bergabung di majlis itu.  


STUDI BUDAYA & SOSIAL WARGA TLEKUNG
Oleh : Alfarabi Shidqi Ahmadi

Sembari ditemani dinginnya kota Batu, khas dataran tinggi kami se-kelompok berjalan-jalan melihat-lihat kondisi desa Tlekung. Kami berjalan di atas jalanan yang mulus, di samping kanan-kiri berdiri rumah-rumah warga yang megah-megah dengan konsep minimalis yang khas perumahan perkotaan. Ya, warga desa Tlekung mulai bermetamorfosis menjadi warga kota, sebab kota Batu sendiri telah menjadi kota Wisata yang banyak dikunjungi wisatawan domestik bahkan mancanegara. Datangnya wisatawan-wisatawan itulah yang menjadikan harga jual desa, utamanya lahan menjadi mahal. Singkatnya warga disini banyak yang menjadi “Orang Kaya Baru” (OKB).

Perjalanan kami berhenti di rumah ketua RW 06 dusun Krajan Lor, desa Tlekung Batu. Singkat cerita kami disambut cukup hangat di rumah beliau, khas penyambutan warga desa kepada tamunya. Perbincangan dimulai dengan memperkenalkan diri kami beserta maksud dan tujuan kami dating ke desa Tlekung ini. Beliau banyak memberi arahan dan pengantar mengenai apa yang ada di desa ini. Sekitar 2 jam lamanya kami berbincang bersama beliau membahas apa saja yang ada di desa ini. Mulai dari sisi positif hingga negatif warga desa Tlekung.

Ada beberapa problem yang terjadi di desa Tlekung ini, utamanya menyangkut budaya dan sosial warganya. Diantaranya yang paling mencuat ke permukaan adalah pudarnya budaya ‘pedesaan’ warga desa Tlkeung, yaitu budaya yang erat kaitannya dengan gotong-royong, kerja bakti, saling peduli, kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan kumpul-kumpul bersama tetangga.

Ada fakta unik yang sedikit melatar belakangi lunturnya kultur budaya sosial khas pedesaan warga Tlekung ini. Fakta ini kami dapat dari ketua RW 06 desa Tlekung, yang kemudian kami interpretasikan lebih lanjut.

Suatu ketika di desa Tlekung ini ada program pembangunan ‘wisata desa’. Program ini dikomandoi langsung oleh pemerintah kota (Pemkot) Batu. Untuk pengerjaannya melibatkan warga-warga desa Tlekung. Diumumkanlah kepada masyarakat Tlekung bahwa akan ada kerja bakti pembangunan ‘wisata desa’. Para warga berbondong-bondong dating membantu pengerjaan wisata itu. Pihak pemkot menjadi pengawas pada kegiatan itu. Ternyata kegiatan tersebut tidak Cuma-Cuma, ada imbalan jasanya yang dialokasikan dari Anggaran pemerintah kota secara langsung. Intinya, tiap-tiap orang mendapat imbalan berupa uang yang sama rata.

Dari satu sisi, adanya imbalan jasa tersebut memang cukup positif bagi masyarakat desa itu sendiri. Namun, di sisi yang lain malah menjadi penyebab pudarnya jiwa solidaritas dan gotong royong dari warga desa. Akhirnya setelah adanya proyek itu, warga desa sedikit susah atau alot bila diajak untuk kerja bakti (yang Cuma-Cuma). “nah di sana aku kerja bakti dapat uang, masak aku disuruh kerja bakti sekarang gratisan?” tutur pak ketua RW menggambarkan persepsi warganya saat diajak kerja bakti yang Cuma-Cuma tadi.

Fakta lain dari memudarnya budaya khas pedesaan adalah, di saat ada warga baru (pendatang) yang hendak mendirikan bangunan (rumah) di desa Tlekung seakan sudah tak kenal permisi. “lah dulu itu loh mas, kalau ada warga baru yang mau mendirikan rumah pasti seminggu sebelumnya udah keliling ke rumah warga sebelah kanan-kirinya untuk sekedar bilang kalau dia mau buat rumah di sini. Tapi sekarang pembangunan udah dimulai loh malah kita yang mencari tahu siapa seh yang mbangun (mendirikan bangunan) ini.” begitu penuturan ketua RW yang pada problem ini kami jadikan narasumber.

Refleksi dari problem-problem tersebut adalah, pemerataan pembangunan kota yang mulai merembet ke pedesaan tak selamanya membawa dampak positif, tapi juga membawa dampak negatif baik secara langsung ataupun tidak. Selain itu, dewasa ini budaya dan nilai-nilai masyarakat perkotaan mulai ditransfer ke pedesaan, bahkan kebanyakan warga desanya sendiri yang menerapkan budaya perkotaan di kampong halamannya (pedesaan).

Sebagai penutup tulisan ini, kami paparkan solusi yang mudah-mudahan dapat meminimalisir nilai-nilai sosial dan budaya khas pedesaan dengan kemajuan dan pemerataan pembangunan yang semakin cepat ini.

Pertama, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya masyarakat pedesaan disaat hendak melakukan pembangunan dan peningkatan infrastruktur ataupun sumber daya manusia (SDM) di pedesaan. Kedua, perlu adanya pengenalan diri bagi warga pedesaan bahwa kultur sosial dan budaya mereka itu bukan termasuk tertinggal atau kudet, karena kebanyakan warga pedesaan mulai merasa minder dengan kultur budaya dan sosial yang melekat pada diri mereka sendiri disebabkan silau dengan budaya dan sosial masyarakat perkotaan. Singkatnya perlu diminimalisir lagi budaya latah atau ingin meniru dan ikut-ikutan. Yang terakhir pemerintah kota Batu memang sedang gencar-gencarnya merealisasikan visi yang cukup serius, yaitu menjadikan Batu sebagai kota wisata serta menjadikan warganya sebagai pelaku bukan lagi sekedar penonton dari wisatawan yang berdatangan. Bagi kami, alangkah baiknya jika pembangunan-pembangunan lokasi wisata itu juga dibarengi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia serta penguatan nilai-nilai budaya dan sosial yang ada di masing-masing desa. Jadi Batu nantinya diharapkan akan menjadi kota yang indah fisiknya dan indah nilai sosial warganya.

Wallahua’lam


UTAMAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ANAK DIDIK
Oleh : Safira Makhrusa Zulda           

Masyarakat di desa Tlekung sangat mengutamakan pendidikan agama untuk anak didik mereka. Pendidikan agama islam sebaiknya mulai diajarkan sejak umur tiga sampai empat tahun. Para orang tua menjadikan lembaga-lembaga pendidikan islam dengan memasukkan anak-anak mereka ke TPA (Taman pendidikan Al-qur’an). Tujuan diajarkannya pendidikan agama pada anak sejak dini, yaitu agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki karakter yang baik sejak usia dini. Di TPA Darul Aqsha anak-anak tidak hanya diajarkan cara membaca dan menulis al-qur’an saja, namun mereka juga diajarkan tentang bagaimana cara sholat, menghafal doa-doa pendek untuk kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari seperti doa makan, doa masuk kamar mandi, doa bercermin, dan lain-lain. Banyaknya taman pendidikan Al-qur’an didesa Tlekung dengan berbagai metode pembelajaran membaca al-qur’an dapat dipilih oleh masyarakat Tlekung dalam metode pembelajaran untuk memudahkan dalam memperdalam pendidikan islam untuk anak-anak mereka.

 
(dok. Pribadi; para murid di TPQ Darul Aqsha Desa Tlekung)

             Metode pembelajaran untuk tingkat sekolah umum, para orang tua menyekolahkan anak-anaknya tak lupa pula dengan memperioritaskan agama sebagai pendamping mata pelajaran umum yang lain. Tingkat pendidikan umum didesa ini juga megunggulkan para siswanya untuk belajar agama islam lebih dalam. Seperti di SDN Tlekung 02 yang memasukkan BTA (baca tulis Al-qur’an) kedalam mata pelajaran agamanya, sholat dhuhur yang dilakukan berjamaah di musholla dan para murid yang dibimbing untuk adzan dan iqomah. Adanya sedikit peran dari mahasiswa KKM Uin Maulana Malik Ibrahim Malang membantu dalam mengunggulkan SDN Tlekung 02 dengan adanya kegiatan tambahan yaitu sholat dhuha. Hal ini membantu siswa-siswi yang bersekolah di Sekolah Dasar desa Tlekung untuk lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah yang dilakukan oleh rosulullah SAW.


(Dok. Pribadi; Para murid SDN Tlekung 02)

            Desa Tlekung memiliki tingkat pendidikan mulai dari Paud, TK dan SD. Tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) belum ada didesa ini. Sehingga para siswa-siswi yang telah lulus sekolah dasar (SD) akan melanjutkan pendidikannya diluar desa Tlekung. Hal ini diharapkan para orang tua untuk lebih protektif dalam masalah agama kepada anaknya. Peran keluarga sangat penting dalam membangun akhlak anak sejak dini, agar tidak terjadi penyimpangan sosial terhadap anak. Dalam literatur Hidayat* (2015) dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Penyebab diantaranya adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intelektual wawasan dan ketrampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional. Oleh karena itu solusi yang dapat diberikan antara lain dengan menambah jumlah jam pelajaran agama disekolah dan dengan memberi waktu untuk memberikan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan dari kedua orang tua dirumah.
*Hidayat, Nur. 2015. Peran dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Global. Jurnal eL-Tarbawi. Vol.8 No.2.

Desa Tlekung, Batu

DESA TLEKUNG,  BATU Legenda Desa Dari informasi para sesepuh desa bahwa pada tahun 1814 dari situlah awal mula terbukanya sebuah ...

Desa Tlekung, Batu